Jumat, 21 Februari 2014

Cinta Tanpa Syarat


Dilihat dari usianya beliau sudah tidak muda lagi, usia yg sudah senja bahkan sudah mendekati malam,pak Yusuf 58 tahun kesehariannya diisi dengan merawat istrinya yang sakit istrinya juga sudah tua. mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Mereka dikarunia 9 orang anak disinilah awal cobaan menerpa,setelah istrinya melahirkan anak ke sembilan tiba2 kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan da menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi
Setiap hari pak yusuf memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi, dan mengangkat istrinya keatas tempat tidur. Sebelum berangkat kerja dia letakkan istrinya didepan TV supaya istrinya tidak merasa kesepian.

Walau istrinya tidak dapat bicara tapi dia selalu melihat istrinya tersenyum, untunglah tempat usaha pak Yusuf tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga siang hari dia pulang untuk menyuapi istrinya makan siang. 
Sorenya dia pulang memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa2 saja yg dia alami seharian.


Cinta Tanpa Syarat


Walaupun istrinya hanya bisa memandang tapi tidak  bisa menanggapi, pak Yusuf sudah cukup senang bahkan dia selalu menggoda istrinya setiap berangkat tidur.

Rutinitas ini dilakukan pak Yusuf lebih kurang 25 tahun, dengan sabar dia  merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke sembilan buah hati mereka, sekarang anak2 mereka sudah dewasa tinggal si bungsu yg masih kuliah.

Pada suatu hari ke empat anak yusuf berkumpul dirumah orang tua mereka sambil menjenguk ibunya. Karena setelah anak mereka menikah sudah tinggal dengan keluarga masing2 dan pak Yusuf memutuskan ibu mereka dia yg  merawat, yang dia inginkan hanya satu semua anaknya
 berhasil. 

Dengan kalimat yg cukup hati2 anak yg sulung berkata " Bapak, kami ingin sekali merawat Ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir
bapak.........bahkan bapak tidak  ijinkan kami menjaga ibu" .

Dengan air mata berlinang anak itu melanjutkan kata2nya "Sudah yg keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi, kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak dengan berkorban seperti ini kami sudah tidak tega melihat bapak, kami janji kami akan merawat ibu sebaik-baiknya secara bergantian".
Pak yusuf menjawab hal yg sama sekali tidak diduga  oleh anak2 mereka."Anak2ku ......... Jikalau perkawinan & hidup didunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah lagi...... Tetapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian disampingku itu sudah lebih dari cukup, dia telah melahirkan kalian. Sejenak kerongkongannya tersekat,..., Kalian, yg selalu kurindukan dapat hadir didunia ini dengan penuh cinta dan tidak satupun dapat menggantinya dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti Ini. Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya sekarang, kalian menginginkan bapak yg masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yg masih sakit." Sejenak meledaklah tangis anak2 pak Yusuf merekapun melihat butiran2 kecil jatuh dipelupuk mata ibu Yusuf.. Dengan pilu ditatapnya mata suami yg sangat dicintainya itu..
Di saat itulah pak Yusuf bercerita: “Jika manusia didunia ini mengagungkan sebuahcinta dalam perkawinannya, tetapi tidak mau memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian dan penghiburan, mak adalah kesia-siaan belaka atas kehidupan yang dijalaninya. 

Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan mata hati dan bathinnya dan dia memberi saya 9 orang anak yg lucu2.. Sekarang dia sakit karena berkorban untuk cinta kita bersama..dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Seandainya dia sehatpun, belum tentu saya mencari penggantinya apalagi saat dia sakit seperti saat ini. Keberadaan seseorang yang mengasihi dan mencintainya sangat lah diperlukannya…." Karena memang cinta tidak berjalan beriringan bersama dengan kata syarat... Cinta tanpa Syarat
By :http://e-motivasidiri.blogspot.com/2012/10/motivasi-cinta-mencintai-tanpa-syarat.html.

Agar Tidak Mudah Putus Asa

meningkatkan pencapaian
Apa jadinya, saat kita sedang terpuruk, serba kesulitan, dan kita tidak bisa melihat jalan keluar? Maka, kata putus asa seolah menjadi sebuah kata yang “wajar” keluar dari mulut kita. Bisa jadi, kita berkata, “Mau apa lagi? Semua sudah saya lakukan, tetapi tidak ada jalan keluarnya. Ya sudahlah, pasrah saja.”
Namun, apa yang Anda dapatkan dari sikap putus asa? Tidak ada manfaatnya sama sekali. Bahkan bisa jadi memperburuk situasi kita, karena emosi kita negatif dan tidak ada lagi semangat untuk memperbaiki diri atau melepaskan diri dari masalah.
Plus, putus asa itu …. dosa!
“Hai anak-anakku, pergilah kamu, Maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” (Q.S Yusuf: 87)
Untuk itu, Anda benar-benar perlu motivasi hidup agar tidak putus asa. Motivasi yang benar-benar memberikan dorongan sangat kuat sehingga mampu mengalah penghalang yang namanya putus asa.

Motivasi Hidup Yang Akan Menghindarkan Anda Dari Putus Asa

Bagi seorang Muslim, motivasi hidup itu cuma satu, dan jika Anda kita memegang dan mengingat motivasi ini, Anda tidak akan pernah putus asa. Jika Anda masih putus asa, mungkin perlu merenungi lagi apa yang menjadi motivasi hidup Anda selama ini atau pemahaman akan motivasi ini perlu ditingkatkan.
Motivasi Hidup yang tidak akan menjadikan Anda putus asa adalah hidup karena dan untuk Allah semata. Tidak ada motivasi lain selain ini. Kalau ada motivasi lain, tetap dalam rangka beribadah kepada Allah.
Tanamkan dalam diri, bahwa motivasi hidup kita adalah untuk mendapatkan ridha Allah, maka kita tidak akan pernah putus asa. Serius, sehebat apa pun beban, kita akan ingat bahwa disaat-saat kita menjalaninya hanya karena Allah, maka pahala akan terus mengalir. Ingat, selama kita terus menjalaninya dengan ikhlasan.
So, apa alasan kita putus asa? Tidak ada alasan sama sekali, jika kita memahami bahwa segala usaha kita yang dijalani dengan penuh keikhlasan, akan mengalir pahala. Justru, jika berputus asa, malah berdosa.

Jangan Hanya Berorientasi Hasil

Salah satu penyebab putus asa adalah karena kita yang HANYA berorientasi hasil. Artinya hanya hasil yang kita harapkan, tanpa mengingat bahwa prosesnya pun kita sudah mendapatkan kebaikan yang luar biasa.
Misalnya Anda sakit, berobatlah. Sebab berobat itu beribadah, tanda kita tidak berputus asa, dan mengikuti sunah. Kesembuhan, biarkanlah Allah yang menentukan. Yang kita perlukan adalah berusaha dan ini merupakan ibadah sebagai ladang pahala kita. Kesembuhan hak Allah.
Tentu saja kita harus yakin bahwa kita akan sembuh, sebab setiap penyakit ada obatnya. Justru orang yang yakin tidak akan pernah putus asa. Hanya orang yang nggak yakin yang putus asa, dia mengira tidak akan pernah sembuh.
Kombinasi keyakinan dan penyerahan diri kepada Allah adalah obat mujarab dari putus asa. Nggak mungkin, orang yang yakin dan tawakal akan putus asa.
Kegitu juga dengan kemiskinan. Apakah takdir kita miskin atau kaya itu urusan Allah, tetapi saat kita tetap bershabar dalam mencari rezeki yang halal adalah tugas kita dan kita akan mendapatkan pahala. Bahkan pahala yang besar.
Jadi, luruskan motivasi kita, jangan hanya berorientasi hasil, namun nimati prosesnya. Kalau masalah kita berat dan prosesnya lama, bershabarlah dan ikhlaslah menjalaninya, itu ladang pahala buat kita. Inilah motivasi hidup agar tidak putus asa sesungguhnya.

Si Tukang Kayu

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.
Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu memohon pada tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya. Tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan itu. Tapi, sebenarnya ia merasa terpaksa. Ia ingin segera berhenti. Hatinya tidak sepenuhnya dicurahkan. Dengan ogah-ogahan ia mengerjakan proyek itu.  Ia cuma menggunakan bahan-bahan sekedarnya.
Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah terbaik. Sungguh sayang ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan. Ketika pemilik perusahaan itu datang melihat rumah yang dimintanya, ia menyerahkan sebuah kunci rumah  pada si tukang kayu.  “Ini adalah rumahmu,” katanya, “hadiah dari kami.”
Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia mengetahui bahwa ia sesungguhnya mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus hasil karyanya sendiri.
Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang membangun kehidupan dengan  cara yang membingungkan. Lebih memilih berusaha ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang terbaik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan selama ini dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri dengan penuh ketidak sempurnaan karena semata kelalaian kita.
Seandainya kita menyadarinya sejak semula, pastilah kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda. Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Kehidupan yang kita jalani, tak ubahnya kita sedang membangun sebuah rumah untuk kita tempati nanti selamanya. Apabila kita sungguh2 dalam menjalani kehidupan ini dengan penuh kebaikan, maka rumah yang akan kita tempatipun akan terasa nyaman, namun apabila kita menjalani kehidupan ini dengan penuh keburukan, maka yang kita rasakan nantipun tidak akan jauh berbeda. Apa yang bisa diterangkan lebih jelas lagi. Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini.
Hari perhitungan adalah milik Tuhan, bukan kita, karenanya pastikan kita pun akan masuk dalam barisan kemenangan.
“Hidup adalah proyek yang kau kerjakan sendiri dan hasilnyapun akan dirasakan sendiri”.
Semoga kita bisa memanfaatkan sisa usia dengan penuh kebaikan.
Amin
CATATAN:
(PADA DASARNYA KITA SEMUA ADALAH  „TUKANG KAYU“)

Apa Arti Hidup ?

Pernahkah Anda bertanya kepada diri Anda sendiri; Apakah arti hidup ini? Saya dengar, banyak orang yang memiliki pertanyaan serupa itu. Namun, saya tidak begitu yakin jika setiap orang berhasil mendapatkan jawaban yang sama atas pertanyaan itu. Jadi, bagi Anda sendiri; apakah arti hidup itu?
arti hidup

Bak air di kamar mandi saya yang terbuat dari semen dan batu bata belakangan ini sering sekali mengalami kebocoran. Maka saya menggantinya dengan bak baru yang berbahan dasar fiber. Proses pergantian itu menghasilkan setumpuk puing yang teronggok disamping rumah kami. Sudah saya niatkan meminta bantuan tukang sampah untuk menyingkirkan puing itu. Namun saya belum bertemu dengannya dalam beberapa hari terakhir ini. Walhasil, puing-puing itu tetap teronggok disitu. Membuat pemandangan menjadi terganggu.

Pagi-pagi sekali terdengar seseorang tengah berteriak; ”Maaf Mas, puingnya masih akan digunakan oleh Bapak.” Perkiraan saya itu adalah suara Mbak yang membantu pekerjaan rumah tangga kami. Secara spontan saya menuju ke halaman depan. Beberapa orang dalam mobil bak terbuka telah bersiap meninggalkan rumah kami. ”Mas, Anda membutuhkan puing-puing itu?” saya bertanya. Saat mereka mengiyakan, saya mempersilakannya. Dan. Sejak saat itu, saya tidak lagi melihat puing-puing itu.

Saya tercenung selama beberapa saat. Sesuatu yang saya anggap tidak berguna, tanpa disangka dicari-cari oleh orang lain. Kalau dihitung biaya bahan bakar mobil dan ongkos kerja mereka, maka tidaklah mungkin mereka melakukannya jika tidak menemukan ’nilai ekonomi’ dari puing-puing itu. Maka kesimpulan saya; sesuatu yang saya anggap sampah bisa jadi merupakan benda berharga dimata orang lain.
arti hidup

Bukan sekali itu saya menganggap sesuatu tidak berharga. Bahkan lebih parahnya lagi, tidak jarang yang saya anggap tidak berharga itu adalah bagian dari diri saya sendiri. Misalnya, ketika saya merasa sebagai seorang pecundang, maka saya telah merendahkan nilai diri saya. Betapa seringnya juga saya merasa tidak berdaya untuk melakukan sesuatu. Seolah tangan ini. Kaki ini. Kepala ini. Dada ini. Semuanya tidak cukup berguna untuk menjadikan hidup saya bermakna. Padahal, seandainya saya mengumumkan di media masa: ”barang siapa yang menginginkan mata saya, silakan diambil saja,” maka saya yakin akan banyak sekali peminatnya. Tetapi, mengingat betapa saya sering menyepelekan makna mata ini bagi kehidupan saya, nyata sekali bahwa; saya tidak benar-benar menghargai anugerah yang telah Allah hadiahkan melalui mata saya. Astaghfirullah.

Bukti lain jika saya sering menyia-nyiakan cinta Allah adalah ketika saya begitu seringnya membiarkan kemampuan diri saya tersia-siakan. Mata saya tadi, lebih sering saya gunakan untuk melihat hal yang mungkin Allah tidak sukai. Telinga saya. Lebih sering saya gunakan untuk mendengarkan suara-suara yang negatif daripada yang positif. Jari jemari saya lebih sering dipakai untuk menuliskan kalimat-kalimat buruk daripada yang baik-baik. Sekujur tubuh saya juga begitu.

Saya sering sekali bertanya-tanya tentang ’apa arti hidup ini’. Sekarang saya mengerti, mengapa saya tidak kunjung menemukan jawabannya. Sebab seseorang hanya akan bisa menemukan apa arti hidupnya, jika dan hanya jika dia bisa memberikan arti dari setiap organ tubuh melalui kegunaannya. Dengan kata lain, ’arti hidup ini’ itu bukan untuk dicari definisinya. Melainkan untuk diciptakan oleh diri kita sendiri melalui tindakan yang kita lakukan dengan menggunakan sekujur tubuh kita. Baik tubuh kasar ragawi, maupun tubuh halus ruhani. Jadi, agak aneh jika kita terus mencari arti hidup tetapi kita terus menerus menyia-nyiakan hidup kita sendiri.

Jadi, sebenarnya apa sih arti hidup ini? Entahlah. Tergantung bagaimana kita menggunakannya saja. Jika kita menggunakan hidup untuk kebaikan, maka kita akan menemukan bahwa ’hidup ini memiliki arti yang baik’. Namun, jika kita menggunakannya untuk keburukan maka kita memberi arti sebaliknya. Maka pantaslah jika Allah memberi nilai yang berbeda-beda atas hidup yang telah diberikannya kepada setiap insan. Dan karena balasan Allah sangat ditentukan oleh bagaimana cara seseorang menggunakan hidupnya, maka baik dan buruknya kita dimata Allah sangat ditentukan oleh apakah kita menggunakan hidup kita untuk kebaikan atau keburukan, dan untuk saling mencintai.
arti hidup

Dengan demikian, tidak penting lagi untuk mencari apa itu arti kehidupan. Karena ternyata, justru tugas kitalah untuk memberikan arti kepada kehidupan yang telah dianugerahkan Allah dan terusmemotivasi diri. Seperti kertas putih polos. Terserah kita mau menggoreskan tulisan seperti apa didalamnya. Karena bersama kehidupan, Allah memberi kita seperangkat kebebasan untuk memilih; apakah kita ingin kembali kepada Allah dengan catatan hidup yang baik atau tidak.

oleh: Dadang Kadarusman

kisah sukses 5 orang yang bodoh

Orang sukses yang saya maksudkan di sini bukan mereka-mereka yang baru dapat seragam perusahaan lantas sudah menulis “dompet saya tebal” di status facebook mereka. Orang-orang sukses ini adalah mereka yang lebih banyak bertindak daripada berbicara dan lebih banyak berusaha daripada mengumbar..
Kesuksesaan orang-orang ini bukan dalam bentuk kebanggaan status sosial atau kebanggaan sebuah seragam, dan karena itu awal karir mereka dipenuhi orang-orang yang meledek mereka ‘bodoh’.  Tapi orang-orang ini dengan sukses mengalahkan semua rintangan yang menghalangi mereka dari keberhasilan,  dan tentunya keberhasilan mereka ini diikuti dengan nominal penghasilan yang gila-gilaan! Yang oleh kebanyakan orang hanya bisa didapatkan lewat mimpi.

1) Bill Gates

Bill Gates
William Henry Gates III alias Bill Gates adalah orang terkaya dunia selama 13 tahun berturut-turut sejak 1995 sampai 2007. Dia adalah ketua umum perusahaan perangkat lunak Amerika Serikat, Microsoft Corp. Pada dasarnya, si Bill Gates ini memang anak yang cerdas. Gates belajar di Lakeside School, sekolah elit yang paling unggul di Seattle, dan meneruskan berkuliah di Universitas Harvard.
Lalu kenapa orang meledek dia bodoh? Karena Bill Gates gagal menyelesaikan kuliahnya di Harvard dan harus di DO alias Drop-Out. Saya ulangi.. di DROP-OUT! Tidak usah jauh-jauh lah, bayangkan saja apa kata orang tua dan orang-orang di sekitar anda bila anda harus kena DO dari kampus. Pasti banyak bunyi sumbang seperti: ‘Ah dasar memang dianya malas’, ‘Ah dasar memang dia bodoh’, ‘Ah, dasar memang dia ndak bakat jadi orang sukses’ dan lain-lain. Itu karena kebanyakan orang berkuliah bukan untuk mendapat ilmu, tapi untuk dapat titel. Bill Gates, harus mengorbankan kuliah dan kesempatannya mendapat titel untuk fokus kepada penulisan Microsoft BASIC, bahasa komputer terjemahan yang utama untuk sistem operasi komputer MS-DOS, yang akhirnya menjadi kunci pada kesuksesan Microsoft. Sekarang, jumlah kekayaan Bill Gates diperkirakan sebesar 18 trilliun dollar, yang belum juga bisa dibandingkan dengan pendapatan 20 orang pejabat korup terhormat dengan titel-titelnya yang sepanjang 10 senti.. Makan tuh titel.

2) Adam Khoo

Adam Khoo
Si Adam Khoo ini adalah seorang berkebangsaan Singapura. Beda dengan Bill Gates, si Adam Khoo ini memang terkenal ‘batu’, terutama dalam hal akademis. Saking gebleknya, dia sudah dikeluarkan dari sekolah di kelas 4 SD.  Sesusah apa sih pelajaran di kelas 4 SD sampai harus  dikeluarkan?  Jadinya dia masuk ke SD terburuk di Singapura untuk terus melanjutkan sekolah. Saat pendaftaran masuk SMP, dia ditolak oleh enam SMP terbaik di sana. Akhirnya, lagi-lagi dia harus masuk ke SMP terburuk di Singapura untuk melanjutkan sekolah. Dengan prestasi akademis yang kerdil ini, wajar saja dia menjadi bahan tertawaan teman-teman sejawatnya waktu itu.
Tapi kekurangaanya di dunia akademis tidak membuntukan ketajamannya di bidang bisnis. Adam Khoo memulai bisnisnya sejak umur 15 tahun. Kini dia bergerak di bidang bisnis trainingdan seminar. Bahkan di saat usianya baru 22 tahun, Adam Khoo sudah menjadi trainer tingkat nasional di Singapura dengan gaji tinggi bayaran $10.000 perjam! Bayangkan saja, di umur 22 tahun saat semua orang masih disibukkan dengan ngeband, kuliah, dan mendaftarkan diri di bank-bank swasta, Adam Khoo yang dibilang bodoh sudah menghasilkan 100 juta rupiah perjam! Kini di usia 26 tahun, dia telah memiliki empat bisnis dengan total nilai omset US$ 20 juta per tahun. Lalu bagaimana dengan teman-teman sejawatnya yang dulu meledek nilai akademis Adam? Menelan ludah! Makan tuh nilai akademis.

3) Mark Zuckerberg

Mark Zuckerberg Facebook
Nama panjang orang ini memang bisa membuat lidah keseleo, jadi anda pasti setuju kalau saya cukup memanggilnya Mark saja. Nah, siapa si Mark ini? Anda pasti sudah akrab kan dengan situs jejaring sosial bernama Facebook tempat dimana anda berhubungan dengan kolega, atau tempat anda berusaha mencari jodoh, atau sekedar untuk memajang foto anda dengan narsisnya. Nah, Facebook adalah mesin pencetak uang bagi si Mark. Mark adalah pembuat situs Facebook dan sekarang masih menjabat sebagai CEO jejaring sosial tersebut. Mungkin anda pernah bertanya: “Kok Facebook didominasi warna biru mulu ya?” Itu karena si Mark ini ternyata buta warna hijau dan merah, dan warna terbaik yang bisa dia lihat hanya warna biru.
Lalu kenapa dia pernah dibilang bodoh? Karena si Mark nekat mengikuti jejak seniornya Bill Gates, yaitu di DO alias Drop-Out dari Harvard University. Tapi di DOnya dia bukan karena keasyikan dengan organisasi kampus atau sibuk ‘boya’ cewek-cewek junior, tapi sibuk mengembangkan situs jejaring sosial ini. Di saat teman-teman kampusnya masih sibuk dengan pertanyaan ‘Saya diterima kerja apa tidak ya?’, si Mark sudah menjadi milyarder termuda dalam sejarah, dan itu karena usahanya sendiri dan bukan karena warisan nenek moyang.

4) Thomas Alfa Edison

Thomas Alfa Edison
Kisah hidup Thomas Alfa Edison memang sangat mengharukan. Waktu kecil saya pernah meminjam buku otobiografi Thomas di sebuah perpustakaan umum, dan buku itu selalu berhasil membuat saya menangis. Karena selain kisahnya yang memang mengharukan, bukunya juga terlalu tebal hingga saya terkadang menangis karena kelelahan membaca..bleh.  Siapa yang menyangka kalau sang penemu lampu adalah seorang yang agak tuli dan hanya mengenyam pendidikan formal selama 3 bulan? Ketika berumur 4 tahun, Thomas Alfa Edison pulang ke rumah dengan membawa secarik kertas dari gurunya. Ibunya kemudian membaca kertas tersebut: “Tommy, anak Ibu, sangat bodoh. Kami minta Ibu mengeluarkannya dari sekolah,”
Tapi apa yang terjadi? Dengan bimbingan Ibunya, Thomas Alfa Edison dengan leluasa dapat membaca buku-buku ilmiah dewasa dan mulai mengadakan berbagai percobaan ilmiah sendiri. Di usianya yang relatif muda, Thomas sudah berhasil mengukuhkan temuan-temuannya. Hingga akhir hayatnya, Thomas tercatat memegang rekor 1.093 temuan paten atas namanya. Penghasilannya dari temuan-temuan tersebut pun lebih dari cukup untuk mendirikan perusahanya sendiri. Pada tahun 1928 dia menerima penghargaan berupa sebuah medali khusus dari Kongres Amerika Serikat atas semua temuan-temuan yang telah dia patenkan. Lalu nasib si guru yang dulu mengatai Thomas bodoh lewat suratnya? Boro-boro dapat penghargaan, namanya pun tidak pernah terdengar..

5) Abraham Lincoln

Abraham Lincoln
Abraham Lincoln juga adalah salah satu contoh orang yang sukses dalam meladeni kegagalannya. Bayangkan saja, beliau mengalami kegagalan demi kegagalan dalam hidupnya selama 20 tahun!
Gagal dalam bisnis pada tahun 1831.
Dikalahkan di Badan Legislatif pada tahun 1832.
Gagal sekali lagi dalam bisnis pada tahun1833.
Mengalami patah semangat pada tahun 1836.
Gagal memenangkan kontes pembicara pada tahun 1838.
Gagal menduduki dewan pemilih pada tahun 1840.
Gagal dipilih menjadi anggota Kongres pada tahun 1843.
Gagal menjadi anggota Kongres pada tahun 1848.
Gagal menjadi anggota senat pada tahun 1855.
Gagal Menjadi Presiden Pada Tahun 1856.
Gagal Menjadi anggota Dewan Senat pada tahun 1858.
Kira-kira apa yang akan terjadi pada anda bila mengalami kegagalan demi kegagalan terus menerus selama puluhan tahun? Saya pribadi cuma punya 2 jawaban: Menyerah, atau gila. Wajar saja banyak yang menganggap dia bodoh  jika terus memaksakan dirinya berada di dunia politik. Tapi kegagalan Abraham Lincoln dalam dunia politik tidak lantas membuat dia menyerah dan membuka counter pulsa kecil (karena memang handphone saja belum ada), dia terus maju walaupun pada tahun 1836 pernah terpuruk karena kegagalan-kegagalannya. Abraham Lincoln berhasil menjadi presiden Amerika ke -16 pada tahun 1980 dan juga sebagai salah satu Presiden tersukses dalam memimpin bangsanya, menghentikan perang saudara Amerika, dan menghapuskan perbudakan.
Lalu apa yang bisa kita pelajari dari para ahli sukses di atas? MOTIVASI !. Keberhasilan hanya bisa diraih dengan bertahan dari kegagalan. Dalam proses pencapaian kesuksesan, akan banyak rintangan dari luar, termasuk caci maki dari orang-orang anti-sukses disekitar anda. Tetaplah berani untuk menempuh jalan yang berbeda dari kebanyakan orang, dan tetap percaya pada potensi dan impian anda, dan motivasi diri anda. Maka sukses hanya soal waktu.

cerita sedih

Cerita sedih, wanita, menangis, nyata

”Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus”

Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.

Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.

Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”

“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi, ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.

Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.

Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.

Istriku Liliana tersayang,

Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.

Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.

Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.

Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!.

Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”

Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”

Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”

Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.